SuaraKiri.com – Serikat pekerja sering kali disalahpahami. Dalam banyak wacana publik, mereka dicap sebagai penghambat investasi, penyebab mogok kerja, bahkan dianggap sebagai aktor yang bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Namun benarkah demikian?
Sesungguhnya, serikat pekerja adalah bagian dari ekosistem industri yang sehat. Mereka bukan musuh perusahaan, melainkan mitra kritis yang mengawal keadilan sosial di tempat kerja. Mereka memperjuangkan hak normatif pekerja, menjamin dialog yang adil antara buruh dan manajemen, serta mendorong adanya keseimbangan kekuatan di ruang kerja.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO), serikat pekerja yang kuat justru berkontribusi terhadap stabilitas dan produktivitas kerja. Dalam laporan “Freedom of Association and Development” (ILO, 2011), ILO menyatakan:
“Collective bargaining and social dialogue are not obstacles to economic development, but essential tools for inclusive and sustainable growth.”
Hal ini diperkuat oleh penelitian dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam laporan “Negotiating Our Way Up” (2019), yang menunjukkan bahwa keterlibatan serikat pekerja dalam perundingan kerja meningkatkan kualitas pekerjaan dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Serikat pekerja yang sehat juga menciptakan ruang bagi resolusi konflik yang damai. Tanpa serikat, konflik sering kali terjadi secara sepihak, tidak terorganisir, dan berujung pada dampak yang lebih merugikan.
Jika ada perusahaan yang bangkrut karena keberadaan serikat, mungkin bukan serikatnya yang salah, tapi manajemennya yang abai terhadap dialog dan transparansi. Serikat bukan penyebab kerugian, melainkan alarm dini terhadap kesalahan sistem yang tak ditangani.
Serikat pekerja bukanlah masalah mereka adalah bagian dari solusi. Dalam dunia industri yang penuh tantangan, serikat pekerja hadir sebagai kekuatan korektif. Mereka adalah benteng terakhir dari keadilan, suara bagi yang tak terdengar, dan pelindung bagi keseimbangan dunia kerja.