Purwakarta, SuaraKiri.com – Seratus hari kepemimpinan Dedi Mulyadi (KDM) sebagai Gubernur Jawa Barat membuktikan bahwa dukungan rakyat kian menggema. Survei Indikator Politik Indonesia (28 Mei 2025) mencatat kepuasan publik terhadap KDM mencapai 94,7%, tertinggi di Pulau Jawa, jauh di atas Sri Sultan (83,8%) dan Khofifah (75,3%).
Kebijakan tegasnya, seperti membongkar proyek Hibisc Fantasy yang melanggar izin (dari 4.800 m² jadi 15.000 m²), pemutihan pajak kendaraan yang meraup Rp4,4 miliar dalam dua jam, hingga Satgas Anti-Premanisme, membuat KDM dicintai rakyat.
Blusukannya, dengan 6 juta pengikut dan 4.000 video di media sosial, memperkuat citranya sebagai pemimpin merakyat.
Namun, Kaukus Ketokohan Jawa Barat (KKJB) pimpinan Eka Santosa mencoba meredupkan sinar KDM dengan sindiran pedas “Cepot atau Raja?” dalam Sarasehan “Populisme vs Profesionalisme” (30 Mei 2025). Mereka menuding KDM melanggar konstitusi, seperti tidak melibatkan DPRD dalam penyusunan APBD 2025 dan kebijakan pendidikan karakter di barak militer.
Ironisnya, justru KKJB yang mengaku sebagai “tokoh Kesundaan” menunjukkan arogansi melalui kata-kata menghina yang disayangkan publik. Sindiran mereka terkesan bukan kritik konstruktif, melainkan serangan pribadi yang mencerminkan kepicikan.
Seorang netizen menyatakan, “KDM berhak menegur, tapi cara KKJB menghina dengan ‘Cepot’ malah nunjukin arogansi mereka sendiri sebagai tokoh
Track Record Kaukus
1. Eka Santosa: Mantan Ketua DPRD Jabar, kini koordinator KKJB. Selama menjabat, Eka tidak meninggalkan legacy nyata bagi rakyat Jabar. Kariernya di Golkar meredup pasca-2019, dan kritiknya terhadap KDM soal APBD terkesan mencari sensasi tanpa data kuat.
2. Affan Sulaeman: Dosen Fisip Unpad, aktif berwacana akademis, tapi nihil kontribusi langsung untuk rakyat Jabar. Perannya di KKJB lebih sebagai komentator, bukan pelaku perubahan.
3. Deden Rukman Rumadji: Mantan Wakil Bupati Bandung, tidak dikenal dengan program pro-rakyat selama menjabat. Kehadirannya di KKJB terlihat sebagai upaya menjaga eksistensi politik.
4. Dodi Permana & Utun: Aktivis yang minim rekam jejak. Tidak ada catatan advokasi atau proyek sosial besar yang berdampak bagi Jabar. Mereka lebih terlihat sebagai penggembira diskusi.
Wahyu Hidayat dari Spirit Binokasih menyebut KKJB sebagai “barisan sakit hati” yang kecewa karena kehilangan privilege mereka, seperti lapak-lapak yang digusur KDM, terhenti.
Publik menilai arogansi KKJB, yang mengklaim sebagai tokoh Kesundaan, justru mempermalukan budaya Sunda yang menjunjung kesantunan. “Mereka yang ngaku tokoh malah pakai kata-kata kasar. Mana kontribusi mereka untuk Jabar?” ujar Wahyu.
Dukungan untuk KDM meluas, didukung 13 partai (51,76% suara Pileg 2024). Kebijakannya, seperti normalisasi sungai dan larangan perpisahan sekolah untuk ringankan beban orang tua, diterima luas. Analis Ahmad Chumaedy menegaskan, KDM membangun narasi emosional melalui media sosial, mirip Jokowi, membuatnya lebih bersinar ketimbang figur teknokratis.
KDM menjawab sindiran dengan lugas: “Kalau hati yang memimpin, rakyat yang menerima dengan cinta.”
Arogansi KKJB, yang menghina KDM dengan “Cepot,” justru memantik simpati rakyat. Eka Santosa cs, dengan rekam jejak kosong, terlihat seperti kelompok iri yang kehilangan privilege. KDM, dengan 94,7% kepuasan publik, membuktikan dirinya sebagai pejuang sejati Jabar, bukan sekadar jargon.