SuaraKiri.com – Bayangkan sebuah perusahaan sebagai kapal besar yang sedang mengarungi lautan persaingan global. Di bawah, di ruang mesin, para pekerja teknis operator, teknisi, staf lapangan berpeluh menjaga agar roda tetap berputar. Namun, belakangan jumlah mereka berkurang drastis. Yang tersisa harus memikul beban tiga orang, dengan waktu dan sumber daya yang makin terbatas.
Di sisi lain, di dek atas kapal yang megah, ruang rapat perusahaan makin ramai. Jumlah manajer, supervisor, dan konsultan terus bertambah. Mereka duduk menghadap grafik, memantau indikator efisiensi, dan dalam sebuah presentasi dengan wajah serius seorang direktur berkata, “Kita telah melakukan efisiensi besar-besaran. Tapi kenapa output kita justru melambat?”
Pernyataan itu bukan sekadar salah arah, tapi mencerminkan kegagalan memahami akar persoalan. Di banyak perusahaan hari ini, efisiensi bukan lagi alat untuk memperkuat organisasi. Ia telah berubah menjadi mantra kosong yang digunakan untuk memotong biaya, tanpa mempertimbangkan siapa yang paling terdampak dan bagaimana dampaknya terhadap mesin produksi utama: manusia.
Efisiensi yang Disalahpahami: Potong Operasional, Biarkan Manajerial Membengkak
Dalam teori manajemen klasik, efisiensi adalah soal memaksimalkan hasil dengan sumber daya minimal. Namun di tangan birokrasi perusahaan modern, konsep ini berubah menjadi praktik downsizing pemangkasan besar-besaran pada tenaga kerja produktif. Ironisnya, yang justru dipangkas adalah tenaga operasional, bukan struktur manajerial.
Dalam laporan tahunan yang indah, angka beban gaji terlihat “menurun”. Tapi di balik itu, realitasnya suram: satu orang harus menggantikan dua posisi yang hilang, sering lembur tanpa bayaran, kelelahan fisik dan mental, dan kehilangan motivasi.
Di sisi lain, jumlah rapat dan struktur manajerial justru meningkat. Divisi baru dibuka, jabatan-jabatan koordinatif diciptakan, dan rapat lintas departemen makin sering digelar tanpa kejelasan pada output nyata.
Inilah efisiensi yang keliru: menganggap efisiensi berarti pengurangan tenaga kerja, bukan penguatan kapasitas kerja.
Ketimpangan Struktural: Terlalu Banyak Pemikir, Terlalu Sedikit Pelaksana
Perusahaan sehat butuh keseimbangan antara strategi dan eksekusi. Antara yang memutuskan dan yang menjalankan. Tapi banyak perusahaan hari ini terjebak dalam struktur yang timpang: manajer lebih banyak dari staf lapangan.
Contohnya bisa dilihat dari angka-angka yang ironis:
1 manajer membawahi 2 staf.
3 level supervisor di atas 1 teknisi.
5 presentasi tentang strategi, tapi hanya 1 realisasi kerja di lapangan.
Struktur semacam ini bukan mempercepat kerja, tapi justru memperlambatnya. Ketika keputusan harus melewati rantai birokrasi yang panjang, dan staf pelaksana dibebani pekerjaan yang tidak proporsional, maka perusahaan hanya akan berjalan di tempat meski terlihat “rapi” di atas kertas.
Manajemen Buta Lapangan: Data Jadi Tameng, Realitas Diabaikan
Kebanyakan perusahaan hari ini terlalu percaya pada data dan metrik dari KPI, OKR, hingga dashboard performa. Tapi seberapa sering angka-angka itu benar-benar merefleksikan kondisi nyata di lapangan?
Dalam buku Bullshit Jobs (David Graeber), dijelaskan bagaimana banyak pekerjaan manajerial dan administratif tumbuh tanpa nilai produktif yang jelas. Perusahaan terjebak dalam menciptakan pekerjaan untuk mendokumentasikan pekerjaan, alih-alih menyederhanakannya.
Sementara itu, para staf di garis depan yang justru paling tahu realitas proses jarang diajak bicara. Efisiensi versi manajemen seringkali hanya berarti “hemat gaji”, bukan “perbaiki sistem kerja”.
Efek Domino: Burnout, Resign, dan Penurunan Kualitas Layanan
Apa yang terjadi ketika staf yang sedikit dipaksa mengerjakan tugas banyak orang?
Kualitas kerja menurun.
Layanan melambat.
Karyawan kelelahan dan kehilangan motivasi.
Tingkat pengunduran diri naik.
Penggantinya butuh pelatihan yang memakan waktu dan biaya.
Dalam jangka panjang, perusahaan justru merugi. Efisiensi jangka pendek berubah menjadi kerugian jangka panjang, baik dari sisi finansial maupun reputasi.
Efisiensi Sejati: Bukan Memangkas, Tapi Menyusun Ulang
Efisiensi yang benar tidak dimulai dari pemutusan hubungan kerja atau pemangkasan anggaran. Ia dimulai dari penataan kerja yang adil dan masuk akal.
Beberapa prinsip efisiensi sehat antara lain:
1. Audit Beban Kerja Bawah ke Atas
Identifikasi pekerjaan yang betul-betul esensial dan pastikan staf yang mengerjakannya memiliki kapasitas dan sumber daya memadai.
2. Rasionalisasi Manajerial, Bukan Penambahan
Kurangi lapisan manajemen yang tidak langsung terlibat dalam proses produksi atau pelayanan inti.
3. Pemberdayaan Staf Operasional
Berikan pelatihan dan kepercayaan kepada pekerja lapangan untuk mengambil keputusan cepat dan mandiri, tanpa menunggu birokrasi.
4. Transparansi Proses dan Anggaran
Libatkan semua pihak dalam perencanaan efisiensi agar tidak ada yang merasa dikorbankan secara sepihak.
5. Investasi pada Budaya Kerja Sehat
Efisiensi bukan hanya soal angka. Ia juga soal semangat, loyalitas, dan keberlanjutan. Jika pekerja merasa dihargai, mereka akan bekerja jauh lebih efektif.
Kritik Terhadap Budaya Kerja Neoliberal: Produktivitas Tanpa Kemanusiaan
Budaya kerja saat ini sangat dipengaruhi oleh paradigma neoliberal: semuanya harus cepat, murah, ramping, dan fleksibel. Namun dalam praktiknya, semua tuntutan itu justru dilimpahkan ke tubuh pekerja: gaji stagnan, jam kerja melebar, dan rasa aman hilang.
Perusahaan yang terlalu memuja efisiensi, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan tenaga kerja, hanya akan menghasilkan lingkungan kerja yang toksik dan tidak manusiawi. Ini bukan kemajuan. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang dilegalkan lewat SOP.
Perusahaan yang Kuat Tidak Dibangun di Atas Lembur, Tapi Keseimbangan.
Jika perusahaan adalah kapal, maka ia tidak akan berlayar jauh tanpa kru yang sehat dan terlatih. Ia tidak akan selamat dari badai jika hanya mengandalkan kapten di dek atas.
Maka, sebelum memotong staf atau menghapus unit kerja, tanyakan satu hal: apakah kita sedang menyusun strategi, atau sedang menciptakan kehancuran jangka panjang yang dibungkus kata ‘efisiensi’?
Efisiensi bukan tentang “sedikit orang kerja lebih keras.”Tapi tentang semua orang bekerja lebih cerdas, dalam sistem yang adil dan berkelanjutan.