SuaraKiri.com – Adhel Setiawan, seorang wali murid dari Babelan, Bekasi, melaporkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke Bareskrim Polri pada Kamis, 5 Juni 2025, atas kebijakan pendidikan karakter di barak militer. Laporan ini merupakan kelanjutan dari pengaduan sebelumnya ke Komnas HAM, KPAI, dan Kemendagri pada 8 Mei 2025.
Adhel, yang juga pengacara di Defacto & Partners Law Office, menilai program ini melanggar HAM, tidak berpayung hukum, dan berpotensi merugikan psikologis anak. Ia mengutip Pasal 76H UU Perlindungan Anak yang melarang pelibatan anak dalam kegiatan militer, serta menyebut surat edaran gubernur tidak memiliki kekuatan hukum.
Program pendidikan karakter Dedi Mulyadi menargetkan siswa “bermasalah” dengan pembinaan di barak militer bertujuan meningkatkan disiplin dan nasionalisme. Dedi Mulyadi mengklaim program ini berdasarkan persetujuan orang tua dan memiliki dampak positif, seperti peningkatan kedisiplinan, tanpa pelanggaran HAM dan sebagainya.
Menteri HAM Natalius Pigai mendukung, menyatakan program ini bukan hukuman fisik, melainkan pembentukan karakter. Namun, KPAI menemukan kejanggalan, termasuk kurangnya transparansi metode pelatihan dan potensi pelanggaran HAM.
Adhel menegaskan bahwa kebijakan ini hanya berdasarkan surat edaran, yang dianggap tidak memiliki dasar hukum kuat di negara hukum seperti Indonesia. Menurutnya, kebijakan publik harus didukung undang-undang atau peraturan yang jelas, bukan sekadar surat edaran yang bersifat administratif. Hukum tertinggi, yaitu kepentingan dan keselamatan rakyat, tidak otomatis terwakili oleh surat edaran tanpa proses legislasi yang sah.
Namun, Dedi Mulyadi menyebut program ini didukung surat pernyataan orang tua, yang dianggapnya cukup sebagai payung hukum. Meski begitu, tanpa dasar peraturan daerah atau undang-undang, program ini rentan digugat karena tidak memenuhi syarat formal hukum.
Wahyu Hidayat, aktivis buruh dan pendiri Spirit Binokasih, berpendapat bahwa seorang pemimpin dapat melakukan banyak hal positif, hal yang baik sekiranya tanpa “dirusuhi” oleh tindakan seperti pelaporan Adhel ini. Akan jauh lebih berbahaya ketika pemimpin justeru kemudian tidak lagi mencintai atau peduli pada rakyatnya.
Pelaporan Adhel ke Bareskrim dianggap berlebihan dan pasti sedikit banyak menguras energi di saat dibutuhkan energi besar untuk memperbaiki Jawa Barat. Sekalipun pelaporan bertujuan melindungi hak anak, dapat menghambat inisiatif pembinaan anak bangsa jika terbukti menghentikan program tanpa dialog konstruktif.
Namun, sisi positifnya, pelaporan ini juga menunjukkan pentingnya akuntabilitas publik terhadap kebijakan yang kontroversial. Jika program Dedi terbukti tidak memiliki payung hukum atau merugikan anak, pelaporan ini bisa menjadi koreksi penting.
Sebaliknya, jika program ini efektif dan didukung masyarakat, pelaporan Adhel berisiko dianggap menghambat upaya pembinaan.
Menurut Wahyu, pelaporan Adhel tidak serta-merta menghentikan program Dedi. Bareskrim Polri akan menggelar perkara untuk mengevaluasi bukti, termasuk dokumen dan video yang diserahkan Adhel.
Namun, tanpa bukti konkret pelanggaran HAM atau tindak pidana, laporan ini mungkin hanya memicu penyesuaian kebijakan, bukan penghentian total. Wahyu justeru tertarik untuk masyarakat mulai jeli dengan pelaporan hingga Bareskrim ini.
“Siapa yang diuntungkan? Prasangka buruknya –walau tak ada data valid– posisi Adhel sebagai lawyer tentu bisa saja bersinggungan kepentingan langsung sekiranya terjadi kasus-kasus kenakalan remaja seperti halnya di daerah Babelan, asal Adhel yang relatif tinggi kasus kriminalitasnya, baik tawuran, narkoba, bahkan kasus prostitusi di wilayah sekitarnya.
Pada 2024, tercatat 12 kasus tawuran dengan 3 korban jiwa dan 45 kasus narkoba remaja di wilayah ini. Mungkin saja kepentingannya terganggu!” ujar Wahyu.
Namun demikian, kritik dan saran tetap diperlukan sebagai bagian dari partisipasi publik. “Ya! Kita berprasangka baik saja bahwa yang dilakukan Adhel ini demi perlindungan hak kaum muda, bukan mencari popularitas!
Semoga dapat terselesaikan dengan baik dan pemprov tetap dapat maksimal dalam bekerja demi masyarakat,” kata Wahyu.
Sebagai jalan tengah, ia mengusulkan dua solusi: pertama, program tetap berjalan dengan perbaikan administrasi dan penguatan legalitas, serta persetujuan orang tua.
Kedua, jika banyak orang tua di Babelan menolak, wilayah tersebut dapat dikecualikan dari program untuk membandingkan hasil pembinaan di daerah lain. “Katanya ingin pemerintah daerah fokus bekerja untuk masyarakat. Giliran rada out of the box dirusuhi. Merubah Jabar ga cukup dengan cara-cara standar.
Kadang harus out of the box! Mari kita lihat, mana yang lebih efektif: daerah dengan atau tanpa pembinaan,” ujar Wahyu menutup pembicaraan seluler.