SuaraKiri.com – Adhel Setiawan, wali murid dari Bekasi, melaporkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke Bareskrim Polri pada 5 Juni 2025, terkait kebijakan mengirim siswa bermasalah ke barak militer untuk pendidikan karakter. Laporan ini, juga diajukan ke Komnas HAM, menyeret TNI ke dalam polemik. Adhel menilai program ini melanggar Pasal 76H UU Perlindungan Anak karena melibatkan anak dalam kegiatan bernuansa militer, dengan ancaman pidana hingga 5 tahun.
Ia menyerahkan bukti seperti kronologi, pemberitaan, dan video, serta berharap Bareskrim segera menggelar perkara. Kita tunggu kelanjutan tanggapan dari Bareskrim untuk melihat bagaimana laporan ini diproses.
Wahyu Hidayat, pendiri Spirit Binokasih, menyayangkan langkah Adhel karena memperlebar konflik tanpa solusi konkret. Ia menyarankan gugatan ke PTUN atau dialog melalui DPRD Jawa Barat sebagai alternatif yang lebih elegan.
PTUN bisa mengevaluasi kebijakan hukum, sementara DPRD memfasilitasi mediasi. “Betul kata KDM, ada yang haus perhatian!” ujar Wahyu.
Kebijakan Dedi, didukung Ketua LPAI Kak Seto, mendapat dukungan karena membentuk karakter positif melalui disiplin militer.
Kak Seto menegaskan program ini tidak melanggar hak anak. Namun, Adhel menyebut aktivitas seperti bangun jam 04.00, tidur larut, dan baris-berbaris berpotensi intimidasi psikis. Tudingannya bahwa Dedi dan TNI tak memahami filosofi pendidikan memicu kemarahan publik.
Tidak ada bukti konkret bahwa tidur larut terjadi di barak militer dalam program pendidikan karakter yang diinisiasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Berdasarkan informasi resmi yang tersedia, jadwal di barak dirancang ketat dengan disiplin tinggi, termasuk jam istirahat yang teratur, seperti bangun jam 04.00 untuk latihan dan tidur pada waktu yang wajar.
Tuduhan Adhel Setiawan bahwa siswa tidur larut tampaknya lebih spekulatif. Netizen banyak menyebut Adhel “mabuk kecubung,” menilai tindakannya berlebihan dan mencari sensasi, bahkan mengajak pelaporan balik atas dugaan pencemaran nama baik.
TNI, simbol kecintaan pada negara, wajar tersinggung jika dedikasinya dipertanyakan tanpa bukti kuat. Program barak militer terbukti efektif membina disiplin, namun Adhel tetap kontra. Dengan banyak warganet “menyumpahi” dan mengolok-oloknya sebagai “mabuk kecubung,” ia berisiko kehilangan simpati. Langkahnya ke Bareskrim dianggap memojokkan tanpa dialog konstruktif.
Adhel seharusnya memilih diskusi dengan pemangku kebijakan atau evaluasi via DPRD/PTUN. Pendekatan ini lebih bijak ketimbang laporan yang memicu eskalasi. Publik menanti langkah Bareskrim, apakah akan memproses ini sebagai pidana atau mencari solusi alternatif.