Purwakarta, SuaraKiri.com – Di balik panggung megah kekuasaan, selalu ada bayangan gelap yang bergerak pelan namun pasti mengatur, menyusun strategi, dan memanipulasi. Fenomena yang kini mencuat ke permukaan bukanlah hal baru, tapi justru pengulangan pola lama yang dibungkus rapi oleh para elite.
Mereka bukan hanya bermain di panggung, tapi juga menulis naskahnya, menentukan peran, dan menggiring opini.
Jika kita jujur menilai apa yang sedang terjadi, tampak jelas ini bukan sekadar persaingan biasa.
Ini konspirasi busuk digelontorkan oleh segelintir elite yang lihai memainkan peran kaum bawah sebagai pion. Kaum kecil yang tengah bergulat dengan kerasnya hidup, justru dijadikan bahan bakar demi ambisi kekuasaan segelintir orang.
Bukan Soal Kepentingan Umum, Tapi Soal Siapa Menguasai Lahan Basah
Konspirasi ini bukan demi rakyat. Jauh dari itu. Justru sebaliknya, ini adalah misi tersembunyi untuk menguasai institusi-institusi yang ‘basah’, yang penuh dengan aliran dana dan kuasa.
Entah itu organisasi, lembaga, atau bahkan rumah tangga besar bernama institusi negara semuanya dijadikan ladang untuk dipanen oleh tangan-tangan tamak yang tidak pernah kenyang.
Ada agenda akuisisi kekuasaan yang sedang dijalankan. Sebuah operasi senyap, dibungkus dengan narasi kepentingan umum, padahal sebenarnya hanya demi kantong dan gengsi pribadi.
Ironisnya, semua dilakukan dengan memanfaatkan topeng perubahan dan retorika pengabdian.
Mereka yang Dulu Tersingkir, Kini Ingin Kembali dengan Wajah Lama
Jika kita tarik sejarahnya, para pelakon utama konspirasi ini bukanlah sosok baru. Mereka adalah “pemain lama” yang pernah berkuasa, lalu terganti karena kebusukannya terungkap. Tapi seperti jamur di musim hujan, mereka kembali bermunculan. Bedanya, kini mereka datang dengan pendekatan baru, strategi halus, dan narasi manis tapi tetap dengan niat lama: mempertahankan aliran uang dan kekuasaan agar tidak jatuh ke tangan yang lain.
Mereka tidak rela jika pundi-pundi kekayaan yang selama ini mengalir deras tiba-tiba berhenti. Maka, berbagai cara dilakukan agar mereka bisa kembali duduk di kursi empuk kekuasaan. Bukan demi rakyat, tapi demi kekuasaan itu sendiri.
Rakyat Jangan Jadi Penonton Apalagi Korban
Dalam situasi seperti ini, harapan hanya tinggal pada dua pihak: para pejabat yang masih punya nurani dan rakyat yang mulai membuka mata. Jika keduanya peka, maka konspirasi ini bisa digagalkan sebelum tumbuh besar. Tapi jika tidak, sejarah akan kembali berulang rakyat hanya jadi objek, dan elite kembali berpesta pora.
Pertanyaannya: masihkah kita mau menjadi bagian dari permainan ini?