Ketika Suara Kritis Dianggap Ancaman dan Pemuja Kekuasaan Dijadikan Pahlawan

Purwakarta , SuaraKiri.com – Akan datang satu masa mungkin bahkan masa itu telah tiba di mana suara kritis tidak lagi disambut sebagai bentuk kecintaan terhadap perubahan atau kebaikan bersama. Sebaliknya, pengkritik dianggap pengganggu. Dicap pembuat gaduh. Bahkan lebih jauh, mereka dilabeli sebagai penghianat, perusak tatanan, atau dalam istilah kasarnya: bangsat.

Fenomena ini bukan hal baru dalam sejarah peradaban. Ketika kekuasaan terlalu lama bercokol tanpa kontrol, maka kritik dianggap racun. Kekuasaan yang tidak mau dikoreksi akan menciptakan narasi bahwa siapa pun yang berbeda pendapat adalah musuh. Mereka yang mempertanyakan kebijakan dianggap tidak loyal. Mereka yang berani menyampaikan ketidakberesan dicurigai punya agenda tersembunyi.

Ironisnya, di saat yang sama, para penjilat kekuasaan justru diberi panggung. Mereka yang rajin memuji, bahkan ketika kebijakan salah arah, diangkat sebagai pahlawan. Diberi ruang, disanjung, bahkan dianggap pejuang sejati. Padahal, mereka tidak memperjuangkan apa pun kecuali kenyamanan pribadi di bawah bayang-bayang kekuasaan.

Inilah zaman di mana kebenaran dibungkam, dan kepalsuan dirayakan. Kritis dianggap radikal, sedangkan tunduk membabi buta disamakan dengan kesetiaan. Maka tak heran jika ruang publik hari ini dipenuhi bisu dan pura-pura. Bukan karena tak ada yang melihat kesalahan, tetapi karena yang bersuara akan dibungkam, dan yang diam malah dipeluk.

Sudah waktunya kita bertanya: apakah kita ingin membangun masyarakat yang sehat dengan kebebasan berpikir, atau justru menyuburkan budaya kultus individu?

Karena tanpa kritik, kekuasaan akan tumbuh seperti gulma: menjalar ke mana-mana dan membunuh tanaman baik di sekitarnya.

Dan ingat, dalam sejarah, yang disebut pahlawan hari ini bisa saja dulunya adalah “pengganggu” yang tak pernah berhenti bicara.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *