Ketika Kritik Tajam, Tapi Apresiasi Tumpul: Keadilan Berpikir yang Hilang

Suarakiri.com – Dalam ruang publik, baik itu ruang digital maupun ruang sosial sehari-hari, kita sering melihat satu pola yang berulang: giliran seseorang menulis atau berbicara dengan kurang baik, ia langsung dikritik. Tapi saat ia menyampaikan gagasan dengan jernih dan kuat, tak ada pujian, bahkan tak ada pengakuan.

Fenomena ini bukan sekadar soal ego atau kebutuhan akan validasi. Ia mencerminkan kedunguan dalam berpikir, di mana kritik hadir tanpa keadilan, dan apresiasi lenyap dalam keheningan. Ini bukan soal tidak boleh mengkritik, melainkan bagaimana kritik dan apresiasi mestinya hadir sebagai cermin dari nalar yang adil.

bell hooks, dalam bukunya Teaching to Transgress, menyatakan bahwa kebebasan sejati dalam berpikir dan berdiskusi hanya bisa lahir dalam budaya yang merawat cinta dan keberanian. Artinya, kita tak hanya mengoreksi yang salah, tapi juga merayakan yang benar.

Namun dalam praktik sosial kita, apalagi di kalangan intelektual atau aktivis, kritik kerap tampil sebagai instrumen kuasa. Seseorang dianggap “cerdas” ketika mampu menemukan celah dan menyerang. Tapi sebaliknya, kemampuan untuk mengapresiasi, mendengar secara utuh, dan mengakui nilai dari pemikiran orang lain dianggap kelemahan atau bahkan kepalsuan.

Inilah bentuk dari budaya intelektual yang timpang, di mana kritik tidak lagi dimaksudkan untuk memperbaiki, melainkan untuk mengukuhkan posisi kuasa.

Ivan Illich, dalam Deschooling Society, mengkritik cara institusi modern menciptakan ketergantungan terhadap struktur yang hirarkis dalam belajar dan berpikir. Kritik Illich dapat kita tarik dalam konteks ini: pikiran yang muncul dari luar “otoritas” sering kali tak dianggap valid, sementara komentar dari dalam lingkaran kekuasaan intelektual disambut dengan pujian sekalipun substansinya biasa saja.

Kita sedang hidup dalam dunia yang katanya demokratis, tapi masih penuh bias terhadap siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakan. Ketika seorang penulis atau aktivis muda menyampaikan kritik sosial, ia cepat diserang karena dianggap terlalu emosional, terlalu mentah, atau tidak akademis. Tapi ketika suara yang sama keluar dari mulut akademisi atau pejabat, tiba-tiba saja menjadi “inovatif”.

Ini bukan hanya soal penghargaan, tapi soal ekologi berpikir yang timpang. Dan dari sinilah muncul ketidakadilan kognitif: hanya sebagian pikiran yang diberi ruang tumbuh, sementara yang lain dibungkam melalui pengabaian.

Kritik yang baik seharusnya lahir dari semangat membangun. Sebaliknya, mengabaikan kehebatan tulisan atau ucapan seseorang hanya karena kita tak menyukai orangnya adalah bentuk perusakan etika berpikir.

Etika ini bisa dirangkum dalam tiga prinsip:

1. Kritik yang seimbang: Mengoreksi sekaligus mengakui nilai dari apa yang benar.

2. Apresiasi yang sadar: Memberi pujian bukan sebagai basa-basi, tapi sebagai bagian dari menghargai proses berpikir.

3. Pembebasan dari bias otoritas: Menilai pikiran dari isinya, bukan dari siapa yang menyampaikan.

Kita tak bisa membangun masyarakat berpikir jika yang berani berbicara terus-menerus ditekan dengan kritik sinis, sementara keberanian mereka diabaikan saat benar.

bell hooks mengajarkan bahwa ruang pembebasan adalah ruang yang penuh cinta dan keberanian. Artinya, ketika seseorang menulis dari tempat luka, dari tempat gelisah, dari tempat belajar  maka respons kita seharusnya bukan cemooh atau diam, tapi keterlibatan.

Di sinilah pentingnya media alternatif: menjadi ruang yang adil bagi suara-suara pinggiran, yang tak cukup bergengsi untuk media arus utama, tapi menyimpan kedalaman pemikiran yang tidak kalah bermutu.

Menjadi adil dalam berpikir adalah bentuk tertinggi dari penghormatan terhadap kehidupan bersama. Mengabaikan yang benar karena tak cocok dengan identitas si penulis, atau karena ego pribadi, adalah bentuk ketidakdewasaan berpikir.

Maka ketika seseorang menyampaikan ide baik dalam tulisan, lisan, atau ekspresi lainnya  belajarlah menjadi pendengar yang adil. Jangan hanya tajam dalam menemukan salah, tapi juga peka dalam menemukan yang layak diapresiasi.

Karena sebagaimana dikatakan bell hooks:”Love is an action, never simply a feeling.”Begitu pula berpikir: ia adalah tindakan etis, bukan sekadar kemampuan teknis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *