Kerusakan Alam Akibat Keserakahan Kapitalis Neoliberal: Raja Ampat dalam Ancaman

Aktivitas tambang nikel PT GAG Nikel di Pulau Geg, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat, Papua Barat Daya ( Foto : Aktivis Greenpeace Indonesia )

SuaraKiri.com –  gugusan pulau eksotis di Papua Barat Daya yang selama ini dikenal sebagai mahkota keanekaragaman hayati laut dunia, kini berada di ujung tanduk. Dalam laporan terbarunya, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia mengingatkan bahwa ekspansi industri tambang nikel di kawasan ini, terutama di Pulau Geg, Distrik Waigeo Barat, telah memicu kekhawatiran serius atas kelangsungan ekosistem laut dan ruang hidup masyarakat adat.

Ironis, wilayah yang selama ini dijunjung tinggi sebagai simbol ekowisata dunia dan benteng terakhir biodiversitas kini terancam hancur oleh kerakusan modal. Aktivitas penambangan yang dilakukan atas nama “kemajuan” dan “transisi energi hijau” justru berpotensi menggiring kita pada bencana ekologis yang lebih besar dan lebih sistemik.

Raja Ampat Bukan Sekadar Destinasi Wisata

Raja Ampat bukan hanya landscape indah untuk brosur pariwisata. Ia adalah rumah bagi lebih dari 500 spesies terumbu karang dan 1.300-an jenis ikan karang, menjadikannya pusat keanekaragaman hayati laut global yang tak tergantikan. Namun yang sering luput dari sorotan adalah bahwa wilayah ini juga merupakan ruang hidup komunitas adat yang telah menjaga laut dan hutan melalui praktik kearifan lokal selama ratusan tahun.

Kehadiran industri tambang, seperti yang dilakukan PT GAG Nikel, membuka luka ekologis yang dalam: pembukaan lahan besar-besaran, pembuangan limbah kimia, hingga pencemaran air laut. Ini adalah bentuk kekerasan struktural terhadap alam dan rakyat kecil yang hidup dari kekayaan biota laut.

Neoliberalisme dan Arogansi Modal

Persoalan ini tidak bisa dibaca sekadar sebagai isu lingkungan. Ini adalah krisis multidimensi, buah dari sistem ekonomi neoliberal yang menempatkan logika keuntungan di atas segala-galanya. Ketika kekuatan modal bebas menjarah bumi tanpa regulasi yang kuat dan kontrol sosial yang berpihak pada rakyat, yang terjadi adalah perampasan ruang hidup, pengusiran secara halus, dan kematian lambat bagi ekosistem dan masyarakat adat.

Transisi energi hijau yang seharusnya menjadi harapan baru dalam menghadapi krisis iklim justru berubah menjadi kedok baru kolonialisme, ketika tambang nikel dijual sebagai solusi energi masa depan tanpa memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan. Inilah bentuk baru dari eksploitasi yang dibungkus dengan narasi kemajuan.

Laudato Si’ dan Ekologi Integral

Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ telah mengingatkan kita bahwa persoalan ekologis tidak bisa dipisahkan dari persoalan keadilan sosial. Ia menawarkan visi “ekologi integral”, yang menolak dikotomi palsu antara alam dan manusia, ekonomi dan lingkungan. Kerusakan ekosistem Raja Ampat bukan hanya kehilangan biodiversitas, tapi juga pelanggaran atas hak masyarakat adat, ancaman terhadap budaya hidup yang berkelanjutan, dan pengingkaran atas nilai-nilai keadilan ekologis.

Perlawanan Adalah Kehidupan

Perjuangan menolak tambang di Raja Ampat bukan semata soal konservasi alam. Ini adalah perlawanan terhadap kolonialisme baru yang mengatasnamakan energi bersih. Ini adalah bentuk keberpihakan pada kehidupan, tanah, dan laut yang menjadi sumber hidup sejati. Karena sesungguhnya, tak ada masa depan hijau tanpa keadilan bagi bumi dan manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *