Purwakarta, SuaraKiri.com — Jalanan kota Purwakarta kembali padat merayap saat malam takbiran menyambut Idul Adha 1446 Hijriah. Di sepanjang ruas utama seperti Jalan Veteran, Jalan Ibrahim Singadilaga, hingga area Alun-Alun Purwakarta, ribuan kendaraan tumpah ruah, membentuk lautan lampu yang berkelip-kelip bukan sekadar karena macet, melainkan karena antusiasme umat Muslim menyambut hari raya.
Meski kemacetan mengular hingga lebih dari satu kilometer di beberapa titik, tak terdengar klakson panjang bernada marah. Yang terdengar justru lantunan takbir yang berkumandang dari berbagai penjuru: dari masjid, speaker mobil pick-up yang diubah jadi kendaraan takbir keliling, hingga dari mulut anak-anak yang bersorak girang di atas motor bersama keluarga mereka.
Di bawah langit malam yang cerah, suasana penuh suka cita terasa begitu kental. Aroma sate, gulai, dan makanan khas hari raya mulai menyeruak dari berbagai sudut, menyatu dengan suara bedug yang dipukul bergantian oleh para pemuda. Beberapa komunitas sengaja menyiapkan parade obor dan mobil hias bertema hewan kurban, membuat lalu lintas makin padat, namun tetap dalam suasana kondusif dan meriah.
“Ini bukan kemacetan yang bikin stres, ini kemacetan yang bikin hati hangat,” ujar Dedi (42), warga Purwakarta yang mengantar anak-anaknya takbir keliling sambil sesekali menyeka keringat. “Lebih baik padat begini, daripada sepi tanpa gema takbir.”
Pemerintah daerah dan aparat kepolisian tampak siaga di berbagai titik, mengatur arus kendaraan dan memberikan imbauan agar takbir keliling dilakukan secara tertib. Meski beberapa ruas jalan mengalami perlambatan lalu lintas cukup parah, tak ada laporan signifikan mengenai kecelakaan atau keributan.
Malam takbiran ini menjadi semacam panggung sosial bagi masyarakat Purwakarta—tempat keluarga berkumpul, anak-anak bermain, dan warga saling menyapa. Lebih dari sekadar perayaan religius, momen ini menjadi ruang berbagi kehangatan antar sesama, menyambung tali silaturahmi yang sempat longgar di hari-hari biasa.
Kebahagiaan di malam takbiran memang bukan hanya soal gema takbir dan kembang api, tetapi tentang rasa memiliki terhadap tradisi yang terus hidup di tengah modernisasi. Di tengah kemacetan yang kadang menguji kesabaran, terselip senyum-senyum yang tulus: dari pengendara motor yang membawa hewan kurban, dari pedagang kaki lima yang dagangannya laris, hingga dari anak kecil yang melambai-lambaikan tangan kepada mobil yang lewat.
Purwakarta, malam ini, bukan sekadar sebuah kota yang macet. Ia adalah ruang hidup, tempat gema iman, tradisi, dan kebersamaan bertemu dalam satu waktu yang suci.