Ternate, SuaraKiri.com – Ada satu pertanyaan yang terus membekas di telinga saya: Orang- orang begitu mudah menyematkan istilah “kampus hijau” hanya berdasarkan aspek fisik semata pepohonan rindang, udara sejuk, dan nuansa alami.
Apakah kampus hijau hanya sebatas itu, bagaimana dengan ruang kebebasan berpikir, berekspresi, dan berdiskusi?
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate kerap digambarkan sebagai salah satu kampus hijau. Pemandangan asri dan suasana tenang menjadi ciri khasnya.
Namun di balik citra ekologis yang dipromosikan, terdapat kenyataan lain yang mencemaskan: kebebasan berpendapat mahasiswa dibatasi. Seperti Mimbar bebas, diskusi malam, hingga demonstrasi kini menjadi aktivitas yang dilarang atau dibatasi secara ketat oleh pihak kampus.
Padahal, mimbar bebas dan diskusi merupakan bagian dari budaya intelektual yang semestinya tumbuh subur di lingkungan perguruan tinggi.
Aktivitas-aktivitas ini menjadi medium bagi mahasiswa untuk mengasah kesadaran kritis terhadap berbagai persoalan sosial, politik, dan kampus itu sendiri.
Ketika ruang-ruang ini diberangus, maka hilang pula semangat yang seharusnya menjadi jiwa dari universitas: semangat berpikir bebas dan merdeka.
Larangan terhadap aktivitas demokratis di kampus sejatinya adalah pelanggaran terhadap konstitusi. UUD 1945 secara tegas menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Kebebasan berpendapat adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikompromikan, apalagi dihambat oleh lembaga pendidikan yang justru seharusnya menjadi pelindung nilai-nilai tersebut.
Pelarangan mimbar bebas, pembubaran diskusi malam hari, dan pengawasan terhadap gerakan literasi mahasiswa hanya menunjukkan satu hal: adanya watak anti-demokrasi yang menjangkiti institusi akademik.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang paling terbuka untuk perbedaan pandangan justru berubah menjadi tempat yang membungkam aspirasi.
Lemahnya organisasi internal kampus dalam melindungi hak-hak mahasiswa menjadi masalah tersendiri. Alih-alih menjadi jembatan antara mahasiswa dan kebijakan kampus, organisasi-organisasi ini kerap tak berdaya atau bahkan turut memperkuat status quo. Situasi ini menciptakan ruang hampa dalam perjuangan demokrasi kampus.
Taman Syariah, yang dahulu dikenal sebagai pusat aktivitas intelektual dan pergerakan mahasiswa di IAIN Ternate, kini tak lagi bergema.
Sejak pembungkaman semakin menguat, taman itu menjadi simbol bisu dari kemunduran demokrasi kampus.
Entah karena tekanan mental, ancaman ideologis, atau larangan yang bersifat struktural, mahasiswa kini enggan menyuarakan suara kritisnya.
Kita selama ini diajarkan bahwa kampus adalah tempat belajar berpikir kritis. Namun, jika kebebasan untuk menyampaikan gagasan justru diberangus, maka kekritisan itu hanyalah ilusi sebuah cita-cita kosong yang tak lagi punya tempat dalam realitas.