SuaraKiri.com – Di era neoliberalisme global, di mana relasi kerja kerap dikendalikan oleh logika akumulasi kapital dan efisiensi ekstrem, serikat pekerja (SP) hadir sebagai counterpower yang mendesak agar prinsip keadilan sosial tak lenyap di tengah tuntutan produktivitas dan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Namun ironisnya, resistensi terhadap serikat pekerja justru sering datang dari para buruh sendiri korban langsung sistem yang eksploitatif.
Padahal, menurut International Labour Organization (ILO) dalam laporan “Freedom of Association” (2018), serikat pekerja terbukti menurunkan kesenjangan upah dan memperkuat posisi tawar pekerja dalam perundingan kolektif. Serikat bukan sekadar wadah keluhan, tetapi alat transformasi struktural dalam relasi kapital–buruh.
1. Serikat Pekerja: Fungsi Struktural, Bukan Sekadar Simbolik
Serikat pekerja memiliki peran utama sebagai institusi pengimbang kekuasaan manajerial di dalam perusahaan. Dalam konteks Gramscian, serikat bisa dibaca sebagai “organisasi hegemoni kelas buruh” dalam upaya meraih counter-hegemony terhadap dominasi kapital (Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, 1971). Maka, keberadaan SP bukanlah tindakan destruktif terhadap korporasi, tetapi tindakan afirmatif untuk menyeimbangkan relasi yang timpang.
Sayangnya, mitos bahwa serikat membuat perusahaan bangkrut atau menghambat investasi terus direproduksi oleh kepentingan tertentu. Padahal, studi OECD (2020) menemukan bahwa perusahaan dengan hubungan industrial yang kuat—yang dimediasi oleh serikat cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi karena lingkungan kerja yang stabil, minim konflik, dan pekerja yang merasa dilibatkan.
2. Pintu Awal Kesejahteraan: Dari Upah Layak hingga Jaminan Sosial
Salah satu fungsi utama SP adalah mendorong diterapkannya sistem pengupahan yang adil. Di Indonesia, banyak buruh masih menerima upah di bawah standar, terutama di sektor-sektor padat karya dan informal. Tanpa kekuatan kolektif, pekerja hanya menjadi angka statistik yang mudah dipinggirkan dalam kalkulasi untung-rugi perusahaan.
Perundingan bersama (Collective Bargaining Agreement) yang diperjuangkan SP adalah alat untuk melindungi hak pekerja secara sistemik. Penelitian oleh Freeman & Medoff (1984) dalam What Do Unions Do? membuktikan bahwa pekerja yang tergabung dalam serikat memiliki upah yang secara konsisten lebih tinggi, akses pada pelatihan kerja, serta jaminan terhadap PHK yang lebih kuat dibandingkan pekerja non-serikat.
Serikat juga memperluas cakupan perlindungan melalui advokasi atas jaminan sosial, cuti tahunan, transportasi layak, hingga perumahan pekerja. Dalam konteks Indonesia, serikat-serikat progresif kerap menjadi aktor utama dalam mendesak implementasi jaminan pensiun, JHT, dan BPJS Kesehatan secara menyeluruh yang ironisnya justru sering disabotase oleh regulasi pro-investor, seperti Perppu Cipta Kerja.
3. Perlindungan terhadap Buruh Perempuan: Dari Isu Gender ke Isu Struktural
Buruh perempuan berada dalam posisi paling rentan di tempat kerja: tidak hanya dari aspek upah dan beban kerja, tetapi juga dari potensi kekerasan berbasis gender. Dalam laporan Komnas Perempuan 2021, tercatat tingginya kasus pelecehan seksual dan ketidakadilan struktural yang dialami buruh perempuan, mulai dari tekanan untuk tidak mengambil cuti haid hingga absennya ruang laktasi.
Serikat pekerja menjadi aktor penting dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada pekerja perempuan. SP progresif telah mendorong klausul perlindungan perempuan masuk ke dalam PKB, menuntut ketersediaan fasilitas laktasi, penghapusan jam kerja eksploitatif malam hari bagi perempuan, serta penguatan mekanisme pengaduan kekerasan seksual di tempat kerja. Hal ini sejalan dengan rekomendasi ILO Convention No. 190 (2019) tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
4. Serikat sebagai Lokomotif Kesadaran Kelas
Lebih dari sekadar alat negosiasi, serikat pekerja adalah ruang pedagogis bagi pembentukan kesadaran kelas. Serikat menyediakan pendidikan hukum ketenagakerjaan, literasi ekonomi-politik, dan pelatihan kepemimpinan buruh. Seperti yang ditegaskan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pembebasan pekerja tidak datang dari luar, tetapi dari proses penyadaran kritis atas kondisi material mereka sendiri dan serikat adalah wadah terbaik untuk itu.
Serikat yang aktif membangun political consciousness memungkinkan pekerja untuk melihat persoalan-persoalan kerja sebagai bagian dari sistem ekonomi-politik yang lebih luas. Mereka tidak lagi terjebak dalam ilusi individualisme meritokratik, tetapi sadar bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan melalui solidaritas kolektif.
5. Melampaui Relasi Industrial: Menuju Demokratisasi Ekonomi
Gerakan serikat pekerja seharusnya tidak hanya berhenti pada meja perundingan upah. Ia harus menjadi bagian dari upaya demokratisasi ekonomi yakni distribusi kekuasaan yang lebih adil dalam pengambilan keputusan ekonomi. Di banyak negara Skandinavia, serikat memiliki peran dalam dewan direksi perusahaan. Bahkan di Jerman, sistem Mitbestimmung memberi ruang bagi buruh dalam co-determination board.
Indonesia perlu melangkah ke arah ini. Buruh harus tidak hanya menjadi faktor produksi, tetapi aktor pengambil keputusan ekonomi. Serikat pekerja adalah kendaraan menuju struktur tersebut, dengan syarat serikat itu sendiri menjalankan fungsi representasi yang demokratis, antikorupsi, dan progresif.
Serikat Bukan Musuh, Tapi Jalan Perubahan
Menghindari serikat pekerja berarti membiarkan status quo relasi kerja yang timpang terus berlangsung. Serikat adalah ruang konsolidasi kekuatan buruh, ruang belajar, dan alat perlawanan yang sah dalam sistem demokrasi. Menjadi bagian dari serikat adalah tindakan sadar untuk memperjuangkan martabat kerja dan hak hidup yang layak.
Sebagaimana disampaikan oleh Nelson Mandela, “Where globalization means as it so often does, that the rich and powerful now have new means to further enrich and empower themselves at the cost of the poorer and weaker, we have a responsibility to protest in the name of universal freedom.”
Jangan antipati terhadap serikat sebaliknya, bergabunglah. Karena tanpa serikat, tidak akan ada kesejahteraan yang adil. Tanpa serikat, keadilan struktural hanya menjadi wacana tanpa wujud.