Purwakarta, SuaraKiri.com — Dalam sebuah momentum yang menggugah, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Purwakarta menyampaikan surat terbuka kepada Bupati Saepul Bahri dan Wakil Bupati Ijo Hapidin, tepat menjelang seratus hari masa pemerintahan mereka. Surat ini, yang dirilis melalui akun resmi Instagram @aliansibempurwakarta, bukan sekadar catatan kritis, melainkan jeritan moral kolektif dari pinggiran: dari gang-gang sempit, ruang kelas berdebu, dan anak-anak yang nyaris padam mimpinya.
Dalam narasi yang puitis namun sarat data, mahasiswa menegaskan bahwa visi pemerataan pendidikan masih terlalu jauh dari kenyataan. “Apinya masih jauh dari panggang,” tulis mereka, menggambarkan ketimpangan antara pidato kebijakan dan realitas di lapangan.
“Kami melihat masih banyak anak-anak di pelosok yang mencicil mimpi dengan nyala lilin di ruang belajar. Masih banyak ibu-ibu yang menunggu kejelasan nasib anaknya untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena beban biaya.”
Mereka menyampaikan fakta bahwa rata-rata lama sekolah di Purwakarta hanya mencapai 7,18 tahun, dengan angka partisipasi murni pendidikan menengah hanya 65,60%. Angka-angka ini bukan hanya statistik; ia adalah potret pilu tentang bagaimana sistem belum menjangkau yang paling membutuhkan.
Lebih jauh, surat itu menyinggung tentang ketidakhadiran negara — dalam hal ini pemerintah daerah — di ruang-ruang sunyi pendidikan. Ketimpangan, menurut mereka, bukan lagi soal warisan masa lalu, melainkan bukti dari gagalnya keberpihakan anggaran dan lemahnya intervensi struktural.
“Akses pendidikan yang mudah seharusnya bukan menjadi kemewahan, melainkan hak dasar. Tapi ketika ketimpangan masih menjadi wajah masyarakat berbagai pelosok di Purwakarta, haruskah kita tetap percaya bahwa pendidikan kita sedang menuju kemajuan?”
Dalam bagian yang paling menyentuh, mahasiswa tidak menuntut mukjizat. Mereka hanya meminta keberanian moral dari pemimpin daerah untuk hadir tidak hanya dalam seremoni atau rapat, tetapi di tempat-tempat yang paling gelap dan dingin, di mana pendidikan seharusnya tumbuh paling kuat.
“Masa depan tidak lahir dari rencana yang istimewa, tapi dari keberanian untuk hadir di tempat yang paling sunyi dan membutuhkan,” penutup surat terbuka yang di tanda tangani Shela Amelia
Mereka menutup dengan permintaan yang sederhana tapi menggugah: agar janji pemerataan dan kualitas pendidikan jangan hanya tinggal dalam wacana, melainkan benar-benar bergerak dari mimbar pidato ke ruang kelas, dari meja rapat ke pelosok sekolah.
Surat terbuka ini tidak sekadar kritik. Ia adalah sinyal intelektual dari anak-anak bangsa yang menolak menyerah dalam sunyi. Di negeri ini, suara mahasiswa kerap menjadi denyut awal perubahan. Bila mereka telah bersuara, berarti ada luka yang terlalu lama dibiarkan.