SuaraKiri.com – Dalam kehidupan sehari-hari, buruh tetap terjebak dalam struktur kerja yang timpang. Di balik narasi kemitraan antara buruh dan pengusaha demi produktivitas nasional, sesungguhnya terdapat konflik laten yang mencerminkan relasi kuasa. Dunia kerja bukanlah ruang netral, tetapi medan tarik-menarik antara modal dan tenaga, antara laba dan kehidupan.
Dalam konteks Indonesia, relasi ini semakin kompleks dengan hadirnya negara sebagai aktor yang seringkali berpihak kepada kepentingan pemodal.
Terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, relasi industrial mengalami pergeseran drastis yang memperlemah posisi tawar buruh dan serikat pekerja.
Artikel ini mencoba mengurai secara kritis bagaimana buruh, serikat, dan pengusaha saling berkontestasi, dan mengapa struktur ekonomi-politik saat ini memperdalam ketimpangan itu.
Relasi industrial tidak bisa dibaca sekadar sebagai hubungan simbiosis antara pekerja dan pengusaha. Ia merupakan arena pertarungan antara kekuatan produksi dan pemilik alat produksi.
Pengusaha berusaha menekan biaya dan memaksimalkan surplus, sementara buruh berjuang untuk mempertahankan hidup yang layak. Serikat buruh semestinya menjadi alat kolektif perjuangan, namun di banyak kasus, justru terjebak dalam kooptasi dan kompromi jangka pendek.
Data dari Lembaga Informasi Serikat Buruh Indonesia (LISBI) menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% buruh formal yang tergabung dalam serikat aktif.
Dari jumlah itu, banyak yang mengalami pelemahan melalui union busting atau kooptasi oleh manajemen perusahaan. Di beberapa sektor, serikat justru berfungsi sebagai “penjaga stabilitas” daripada alat perjuangan kelas.
Ketimpangan ini semakin dipertajam dengan fleksibilisasi pasar tenaga kerja. Kontrak kerja jangka pendek, sistem outsourcing, hingga jam kerja tak menentu menjadi norma yang dilegalkan demi efisiensi.
Ini adalah hasil dari kebijakan neoliberal yang mengedepankan daya saing ketimbang keadilan sosial. Dalam hal ini, negara justru berperan sebagai fasilitator pasar, bukan pelindung buruh.
Analisis Teoretis: Dari Kelas hingga Ekologi Produksi
Marx menyebut bahwa kapitalisme bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja melalui akumulasi nilai lebih (surplus value). Dalam kerangka ini, pengusaha memperoleh keuntungan bukan hanya dari proses jual beli, tapi dari kemampuan mereka membeli tenaga kerja lebih murah daripada nilai yang dihasilkan oleh kerja itu sendiri.
Di era neoliberal, mekanisme ini diperhalus melalui berbagai regulasi yang mendistorsi posisi tawar buruh.
UU Cipta Kerja menjadi salah satu contoh konkret. Undang-undang ini menghapus jaminan upah minimum sektoral, membuka peluang outsorcing secara luas, dan mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ini menunjukkan bahwa negara tidak netral dalam konflik kelas, tetapi cenderung memihak modal.
Dari perspektif ekologi politik, ketimpangan ini juga berhubungan dengan pola produksi yang merusak lingkungan.
Sistem kerja yang eksploitatif tidak hanya merampas waktu hidup buruh, tetapi juga menggerus keberlanjutan ekologis. Industri ekstraktif, perkebunan monokultur, dan manufaktur padat energi, semuanya menggunakan buruh murah untuk merampok sumber daya alam. Maka perjuangan buruh tak bisa dipisahkan dari perjuangan ekologis.
Data dan Fakta Empiris: Ketimpangan yang Mengakar
Beberapa data berikut memperkuat gambaran ketimpangan struktural tersebut:
Upah vs Produktivitas: Menurut laporan Bank Dunia (2022), produktivitas buruh Indonesia meningkat rata-rata 3,5% per tahun, tetapi upah riil hanya tumbuh 1,2%. Ini menunjukkan akumulasi keuntungan tidak sebanding dengan kompensasi buruh.
Kooptasi Serikat: Studi Friedrich Ebert Stiftung (2020) menyebut bahwa 40% serikat buruh di Indonesia memiliki ketergantungan terhadap manajemen atau afiliasi partai politik tertentu, yang menghambat independensi perjuangan.
PHK Sepihak: LBH Jakarta melaporkan peningkatan tajam kasus PHK sepihak pasca pandemi, di mana banyak buruh di-PHK tanpa pesangon. Sektor garmen dan ritel menjadi yang paling terdampak.
Fleksibilisasi Kerja: Berdasarkan laporan ILO dan BPS, 56% buruh di sektor informal tidak memiliki perlindungan ketenagakerjaan sama sekali. Mereka bekerja dalam kondisi yang rentan dan tidak stabil.
Kesetaraan Gender dan Buruh Perempuan: Buruh perempuan mengalami beban ganda: diskriminasi upah, pelecehan di tempat kerja, dan eksklusi dari posisi kepemimpinan serikat.
Refleksi Alternatif: Serikat Independen dan Demokrasi Ekonomi
Membangun kekuatan buruh memerlukan transformasi struktural dalam gerakan serikat itu sendiri. Pertama, serikat harus membangun basis yang kuat dan sadar kelas.
Pendidikan politik harus menjadi bagian dari program reguler. Kedua, perluasan solidaritas lintas sektor sangat penting. Aliansi antara buruh formal, informal, petani, nelayan, dan komunitas adat bisa membentuk front rakyat yang lebih kuat.
Contoh dari Amerika Latin, seperti gerakan pekerja pabrik di Argentina yang mengambil alih perusahaan bangkrut dan mengelolanya secara kolektif, menunjukkan bahwa demokrasi ekonomi bukan utopia. Mondragón Corporation di Spanyol yang berbasis koperasi pekerja adalah bukti bahwa perusahaan besar bisa berjalan tanpa logika kapitalisme konvensional.
Di Indonesia, model koperasi pekerja seperti di sektor perikanan, pertanian urban, dan kerajinan tangan sudah mulai tumbuh. Namun masih memerlukan dukungan kebijakan dan akses permodalan agar bisa menjadi alternatif struktural.
Kesimpulan dan Seruan: Kerja untuk Kehidupan, Bukan Sekadar Bertahan
Pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan siapa di antara buruh, serikat, dan pengusaha bukan hanya soal kekuatan individu atau institusi, tapi soal struktur yang membentuk relasi mereka.
Dalam struktur ekonomi politik yang neoliberal, pengusaha memiliki kuasa karena didukung oleh negara dan sistem hukum. Buruh hanya bisa melawan jika memiliki organisasi yang kuat dan kesadaran kolektif.
Politik serikat harus ditarik keluar dari ruang tawar-menawar teknis ke medan perjuangan yang lebih luas: demokratisasi tempat kerja, keadilan ekonomi, dan keberlanjutan ekologi. Gerakan buruh tidak hanya menuntut upah, tapi hak atas hidup yang layak dan bermartabat.
Karena pada akhirnya, kerja bukan sekadar untuk bertahan hidup hari ini, tapi untuk mengklaim kembali masa depan bersama.
Dan masa depan itu harus dibangun di atas solidaritas, bukan subordinasi; atas keadilan, bukan efisiensi; atas kehidupan, bukan laba semata.