Bahaya Menafsirkan Hukum Sembarangan: Ketika Pasal Dijadikan Alat Pembenaran

Purwakarta, SuaraKiri.com – Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Menurut undang-undang ini, kita punya hak!”lalu mengutip sebuah pasal untuk memperkuat argumennya? Fenomena seperti ini marak di masyarakat, terutama di media sosial, ketika potongan pasal dijadikan senjata debat meski konteksnya berbeda jauh. Sekilas tampak meyakinkan, tetapi sesungguhnya berbahaya karena bisa menyesatkan dan merendahkan wibawa hukum.

 Penafsiran Hukum Bukan untuk Sembarangan

Secara akademis, penafsiran hukum tidak berhenti pada membaca teks pasal secara harfiah. Ada metode yang harus digunakan: gramatikal, sistematis, historis, dan teleologis.

Hakim, akademisi, maupun praktisi hukum dituntut memahami latar belakang, tujuan sosial, dan keterkaitan antaraturan. Sebaliknya, masyarakat awam sering hanya melihat bunyi kata, lalu menarik kesimpulan sesuka hati.

Contoh Fenomena Salah Tafsir

Salah satu contoh yang sering muncul adalah ketika masyarakat mengutip Undang-Undang Pemilu untuk membenarkan tata cara pemilihan ketua RT atau RW.

Padahal, pemilu legislatif dan pemilihan pengurus lingkungan berada dalam ranah hukum yang berbeda, dengan mekanisme dan dasar hukum yang tidak sama. Analogi yang dipaksakan ini bukan hanya salah kaprah, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial.

 

Sorotan Ahli Hukum

Satjipto Rahardjo (Pakar Hukum Progresif):

“Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

(sering disalahartikan masyarakat sebagai kebebasan menafsirkan hukum sesuka hati, padahal maksudnya agar hukum berpihak pada keadilan sosial).

Prof. Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi):

“Hukum harus dipahami sebagai suatu sistem, bukan sepotong-sepotong.”

(pesan penting agar masyarakat tidak memotong satu pasal tanpa melihat keterkaitannya dengan aturan lain).

Kedua pernyataan ini memberi pesan yang sama: hukum tidak bisa dipelintir sesuai kehendak, melainkan harus dipahami dalam konteks yang utuh dan sesuai tujuan pembentukannya.

 

Dampak Sosial Salah Tafsir

Penafsiran keliru oleh masyarakat awam membawa beberapa dampak serius:

1. Misinformasi hukum, publik meyakini sesuatu yang salah.

2. Konflik sosial, karena masing-masing pihak merasa punya “dasar hukum”.

3. Menurunnya wibawa hukum, sebab hukum dianggap bisa diutak-atik sesuai kepentingan pribadi.

Penutup: Edukasi Hukum sebagai Solusi

Untuk mencegah hal ini, edukasi hukum harus diperkuat. Pemerintah, akademisi, dan praktisi perlu menyampaikan informasi hukum dengan bahasa yang sederhana.

Media sosial yang sering jadi tempat salah tafsir bisa dimanfaatkan sebagai sarana edukasi. Pada saat yang sama, masyarakat harus lebih bijak tidak gegabah mengutip pasal, tetapi merujuk pada sumber resmi atau berkonsultasi dengan ahli hukum.

Hukum memang berlaku bagi semua orang, tetapi penafsirannya adalah keahlian khusus. Seperti halnya diagnosis penyakit oleh dokter, tafsir hukum tidak bisa dilakukan sembarangan.

Dengan menjadikan pesan para ahli hukum sebagai sorotan, kita diingatkan kembali bahwa hukum adalah sistem yang utuh, yang bertujuan memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat.

 

Penulis : Firman Aji Setiyawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *