Purwakarta, SuaraKiri.com – “Yang tersisa di bumi pertiwi hanyalah dua hal yang dibuat oleh Tuhan, dan yang dibuat oleh China.” Elvan Septian
Ketika Dua Pilar Ekonomi Ambruk Bersamaan
Dalam satu dekade terakhir, wajah industri nasional tampak muram. Pabrik-pabrik tutup, pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat anjlok. Buruh kehilangan pekerjaan, pengusaha kehilangan pasar, dan pemerintah kehilangan arah kebijakan.
Dua pihak yang seharusnya menjadi penggerak utama ekonomi nasional buruh dan pengusaha justru kini menjadi korban dari kebijakan ekonomi yang salah arah dan minim proteksi. Di saat yang sama, pasar domestik dibanjiri produk impor, terutama dari China, yang mendominasi hampir semua lini kebutuhan masyarakat.
Fenomena ini bukan semata gejala ekonomi, melainkan cerminan kegagalan negara menjalankan amanat konstitusi dalam mengatur perekonomian nasional yang berkeadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Kebijakan Upah yang Menekan, Daya Beli yang Runtuh
Sejak diberlakukannya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan diperkuat oleh PP No. 36 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja, pola penetapan upah buruh diubah dari berbasis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi berbasis formula makroekonomi. Akibatnya, pertumbuhan upah buruh tidak lagi sejalan dengan laju inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Selama hampir 10 tahun, buruh dipaksa menerima upah yang stagnan di tengah lonjakan harga bahan pokok, transportasi, dan energi. Hasilnya: daya beli menurun tajam, konsumsi masyarakat melemah, dan permintaan terhadap produk industri ikut merosot.
Dalam teori ekonomi Keynesian, ketika daya beli (aggregate demand) menurun, industri kehilangan pasar domestik. Akibatnya, pabrik mengurangi produksi, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga menutup usaha.
Padahal, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketika kebijakan pengupahan justru menekan kesejahteraan, maka negara telah gagal menjalankan amanat konstitusional tersebut.
Deindustrialisasi Dini dan Gagalnya Proteksi Industri Nasional
Indonesia kini menghadapi fenomena deindustrialisasi dini (premature deindustrialization) yaitu turunnya kontribusi industri manufaktur terhadap PDB sebelum negara mencapai kematangan ekonomi.
Menurut data BPS, kontribusi sektor manufaktur yang sempat menembus 28% pada 2010 kini merosot di bawah 19%.
Ironisnya, pemerintah justru membuka kran impor secara besar-besaran melalui liberalisasi perdagangan. Produk-produk asal China masuk dengan harga sangat kompetitif karena disubsidi negara asalnya.
Sementara itu, industri lokal Indonesia dibiarkan bertarung tanpa perlindungan berarti: biaya energi tinggi, beban logistik berat, dan insentif investasi minim.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang secara tegas mewajibkan pemerintah untuk:
• Melindungi pelaku usaha dalam negeri,
• Menerapkan kebijakan safeguard dan anti-dumping, serta
• Mengembangkan teknologi dan kapasitas produksi nasional.
Namun yang terjadi justru sebaliknya: produk lokal kehilangan ruang, pasar domestik dikuasai impor, dan industri nasional melemah.
Pengusaha Terjepit, Buruh Terlindas
Banyak pengusaha akhirnya melakukan efisiensi ekstrem: memangkas tenaga kerja, mengurangi jam produksi, atau bahkan merelokasi pabrik ke daerah dengan upah lebih rendah. Sebagian lainnya menutup usaha karena tidak mampu bersaing dengan barang impor murah.
Namun menyalahkan upah buruh sebagai penyebab utama runtuhnya industri adalah diagnosis yang keliru.
Negara-negara dengan upah tinggi seperti Jepang, Korea Selatan, atau Jerman tetap kompetitif karena menanamkan nilai tambah melalui inovasi, riset, dan efisiensi teknologi.
Artinya, masalah industri Indonesia bukan terletak pada buruh, tetapi pada strategi industrinya yang lemah dan kebijakan yang tidak berpihak.
Upah murah tidak pernah menyelamatkan industri; justru mempercepat kehancuran pasar domestik karena melemahkan daya beli yang seharusnya menjadi mesin ekonomi utama.
Negara Absen di Tengah Perang Dagang
Dalam situasi global yang semakin kompleks, terutama dengan dominasi pasar China, negara semestinya hadir sebagai pelindung utama.
Namun, kebijakan yang ada justru memperlihatkan sikap pasif lebih sibuk mempermudah arus impor dan investasi asing ketimbang memperkuat basis industri lokal.
Padahal, Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian secara eksplisit mewajibkan pemerintah untuk:
1. Memberikan insentif fiskal dan nonfiskal bagi industri lokal,
2. Menerapkan perlindungan (safeguard) terhadap produk dalam negeri,
3. Mengembangkan riset, inovasi, dan teknologi industri,
4. Menjamin keterpaduan antara industri hulu dan hilir.
Ketiadaan implementasi kebijakan protektif ini membuat pengusaha nasional berjuang sendirian menghadapi perang dagang global yang tidak seimbang.
Dalam perspektif hukum tata negara, hal ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip state responsibility yakni tanggung jawab negara dalam menjamin keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Krisis Kepercayaan dan Kewajiban Konstitusional Negara
Krisis industri yang terjadi hari ini bukan sekadar akibat ekonomi global, melainkan krisis kepercayaan terhadap negara.
Buruh kehilangan harapan, pengusaha kehilangan arah, dan masyarakat kehilangan optimisme terhadap kehadiran pemerintah.
Dalam teori keadilan sosial John Rawls, negara wajib menciptakan sistem yang memberikan perlindungan terbesar bagi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks Indonesia hari ini, kelompok itu adalah buruh dan pengusaha lokal dua pihak yang sama-sama tertekan akibat kebijakan ekonomi yang tak berpihak dan sistem perdagangan yang timpang.
Penutup: Saatnya Negara Hadir
Sudah saatnya pemerintah berhenti berlindung di balik jargon “pasar bebas” dan menyalahkan upah buruh sebagai penghambat pertumbuhan industri.
Negara harus menegakkan kembali kedaulatan ekonomi nasional, membatasi impor produk China yang merusak ekosistem industri, memperkuat riset dan teknologi produksi, serta menghidupkan kembali sinergi antara buruh dan pengusaha.
Karena sesungguhnya, yang membuat industri bertahan bukanlah upah murah, melainkan produk yang kompetitif, teknologi yang efisien, dan kebijakan negara yang berpihak pada rakyatnya.
Jika hal ini terus diabaikan, maka ungkapan satir yang beredar di masyarakat akan menjadi kenyataan pahit:
“Yang tersisa di bumi pertiwi hanyalah dua hal yang dibuat oleh Tuhan, dan yang dibuat oleh China.”
Di tulis oleh Elvan Septian S.H