Aktivis Adalah Tindakan, Bukan Pengakuan Diri Sendiri

Purwakarta,SuaraKiri.com – Di zaman ketika semua orang bisa bicara lantang dari layar ponsel, istilah aktivis jadi makin sering muncul, kadang terlalu sering, sampai kehilangan maknanya. Ada yang mengaku aktivis karena ikut demo sekali, ikut forum diskusi Zoom, atau rutin mengkritik pemerintah lewat media sosial. Tapi benarkah itu cukup?

Aktivisme bukan status yang bisa diklaim sendiri. Ia bukan label yang ditempelkan di bio Instagram atau ditambahkan ke CV. Aktivisme adalah jalan panjang, penuh resiko, dan sering kali sepi dari tepuk tangan. Ia adalah kerja bukan pengakuan.

Aktivisme Bukan Soal Bicara, Tapi Bertindak

Aktivis sejati tidak sibuk menyebut dirinya aktivis. Mereka terlalu sibuk bekerja, turun ke lapangan, menyusun strategi, mendampingi warga, menghadapi tekanan, bahkan kriminalisasi. Mereka bukan orang yang paling nyaring di media sosial, tapi yang paling konsisten membela kepentingan publik, terutama mereka yang dimarjinalkan.

Justru mereka yang benar-benar aktivis, sering tak dikenal. Nama mereka jarang viral. Tapi kalau mereka berhenti bekerja, dampaknya terasa. Mereka adalah nadi gerakan.

Fenomena “Aktivis Kosmetik”

Hari ini, kita menghadapi gelombang aktivis kosmetik, yang menjadikan aktivisme sebagai identitas, bukan aksi. Mereka lebih peduli tampil sebagai orang yang “berdiri di pihak yang benar” ketimbang benar-benar terlibat dalam perubahan sosial. Yang penting terlihat kritis, biar mendapat validasi sosial.

Tentu saja, menyuarakan kebenaran di media sosial penting. Tapi kalau itu jadi satu-satunya bentuk “perjuangan” yang kita lakukan, kita sedang mengerdilkan makna aktivisme itu sendiri. Kita membuatnya jadi dangkal. Jadi panggung personal, bukan kerja kolektif.

Aktivisme Bukan Alat Legitimasi Politik

Lebih bahaya lagi kalau label aktivis dipakai untuk kepentingan politik pribadi. Berapa banyak yang naik ke panggung kekuasaan dengan jubah aktivis, tapi kemudian lupa pada rakyat yang dulu mereka wakili? Aktivisme bukan batu loncatan menuju elit. Ia harus tetap jadi komitmen untuk berdiri bersama rakyat, meski tanpa panggung, tanpa sorotan.

Ketika kata aktivis dipolitisasi, maka publik akan semakin sulit membedakan mana yang benar-benar berjuang, dan mana yang hanya numpang nama. Kita sedang melihat itu hari ini, dan ini krisis kepercayaan yang serius.

Menumbuhkan Budaya Tindakan

Sudah saatnya kita berhenti sibuk mengklaim diri sebagai aktivis. Lebih baik kita fokus pada kerja nyata. Yang dibutuhkan hari ini bukan lebih banyak orang yang merasa dirinya penting, tapi lebih banyak orang yang siap bekerja bersama, turun tangan, dan bergerak tanpa pamrih.

Sebab, aktivisme bukan soal merasa benar, tapi soal memperjuangkan yang benar. Ia bukan tentang siapa kita, tapi tentang apa yang kita lakukan. Dan dalam dunia yang semakin penuh ilusi ini, tindakan adalah satu-satunya hal yang masih punya makna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *