Kabupaten Tasikmalaya, Suarakiri.com,-Pembangunan di Desa Bojongkapol, Kecamatan Bojonggambir, kembali menuai sorotan masyarakat. Sejumlah warga menilai bahwa penggunaan Dana Desa di desa tersebut tidak merata, bahkan program infrastruktur jalan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat justru kerap dikesampingkan. Rabu ( 01/10/2025 )
“Dari tahun ke tahun, pembangunan jalan itu hampir tidak kelihatan. Kalau pun ada, porsinya kecil sekali dibandingkan anggaran miliaran yang masuk setiap tahunnya,” ungkap seorang warga setempat.
Masalah keterbukaan informasi juga menjadi sorotan. Ketika ditanya mengapa laporan tahunan Dana Desa tidak pernah dipajang di depan kantor desa sebagaimana mestinya, jawaban kepala desa justru terkesan mengada-ada.
“Kantenan di pampang, tapi duka kamana eta teh laporan. Panginten katebak angin,” ujar kepala desa saat ditanya masyarakat.
Padahal, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan tegas menyatakan bahwa laporan anggaran merupakan informasi publik yang wajib diumumkan secara berkala. Selain itu, Permendagri No. 20 Tahun 2018 Pasal 3 mewajibkan pengelolaan keuangan desa dilakukan secara transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran.
Masyarakat mengakui memang ada sebagian pembangunan yang direalisasikan. Namun, jika dibandingkan dengan anggaran desa yang mencapai miliaran rupiah per tahun, hasil yang terlihat dinilai jauh dari seharusnya.
Lebih lanjut, sejumlah warga menduga adanya anggaran fiktif di sektor pemberdayaan masyarakat.
“Kalau untuk infrastruktur memang ada bukti fisiknya, tapi untuk pemberdayaan nyaris tidak ada buktinya. Anggarannya ada, tapi realisasinya tidak kelihatan,” ungkap salah satu narasumber.
Jika benar terjadi, hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 26 ayat (4) huruf f, yang mewajibkan kepala desa melaksanakan pemerintahan desa dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta bebas dari praktik korupsi.
Kritik lain ditujukan pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang dianggap tidak memiliki inisiatif dan tidak terbuka kepada masyarakat. Bahkan, beberapa warga menyebut BPD sering dilangkahi oleh kepala desa.
“BPD itu tidak punya power, jabatannya pun merangkap, dan ketika masyarakat ingin menyampaikan aspirasi, BPD seolah tidak bisa berbuat apa-apa,” ujar seorang warga.
Padahal, sesuai dengan Pasal 55 UU Desa No. 6 Tahun 2014, BPD memiliki fungsi membahas dan menyepakati peraturan desa, menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa.
Masyarakat juga mengaku sering menyampaikan aspirasi, namun selalu diabaikan dengan alasan klasik: ditunda, dilempar ke pihak lain, atau dianggap bukan bagian dari kewenangan. Kondisi ini membuat warga semakin apatis terhadap pemerintahan desa.
Lebih ironis lagi, dalam dua tahun terakhir pemerintah desa menganggarkan program pengembangan internet desa, namun hingga kini realisasi fisiknya belum ada. Hal ini menambah kuat dugaan adanya praktik pengelolaan anggaran yang tidak sesuai aturan.
Selama masa jabatan kepala desa yang sudah berjalan sekitar 5–6 tahun, masyarakat menilai hampir tidak ada perubahan signifikan. Pembangunan jalan, gedung desa, maupun fasilitas publik lainnya terkesan stagnan, sementara tata kelola desa dianggap jauh dari harapan.
Minimnya transparansi, lemahnya BPD, dugaan anggaran fiktif, serta program yang tidak terealisasi menandakan adanya potensi pelanggaran regulasi di Desa Bojongkapol. Kondisi ini memperkuat desakan masyarakat agar Inspektorat Kabupaten Tasikmalaya segera turun melakukan audit mendalam terhadap penggunaan Dana Desa, demi menjamin akuntabilitas dan kesejahteraan warga desa.
Dengan demikian diharapkan pihak kecamatan ataupun inspektorat agar segera bertindak guna melakukan kroscek akan kebenarannya.
Sampai berita ini di tayangkan, belum ada klarifikasi dari pihak kepala desa.