Purwakarta, Suarakiri.com – Duka mendalam menyelimuti bangsa. Seorang driver ojek online, Afan Kurniawan (27), meninggal dunia diduga setelah terlindas kendaraan taktis Barracuda Brimob saat aksi unjuk rasa di Jakarta, 28 Agustus 2025.
Afan, sosok sederhana yang setiap hari bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, kini pergi dengan cara tragis.
Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Purwakarta Raya menyatakan sikap tegas mengutuk keras tragedi tersebut.
“Atas nama GMNI Purwakarta, kami menyampaikan duka mendalam atas wafatnya saudara Afan Kurniawan.
Ia bukan provokator, ia hanyalah rakyat kecil yang setiap hari berjuang di jalanan untuk menghidupi keluarga.
Kepergiannya adalah luka kemanusiaan yang menampar nurani kita semua, sekaligus mencoreng wajah demokrasi negeri ini,” ujar Komisaris GMNI Purwakarta Raya, Bentang Kesumah, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kartamulia.
Bentang menilai tragedi ini sebagai bukti nyata arogansi aparat dalam menangani aksi rakyat.
Menurutnya, demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Namun, hak tersebut kerap dibungkam dengan kekerasan.
“Demonstrasi adalah suara rakyat yang sah. Tetapi ketika suara itu dijawab dengan gas air mata, pentungan, bahkan hingga melayangnya nyawa, maka itu bukan lagi pengamanan itu penindasan. Aparat seharusnya hadir sebagai pelindung rakyat, bukan menjadi mesin ketakutan,” tegasnya.
GMNI Purwakarta mendesak Kapolri dan jajaran terkait untuk segera mengusut tuntas kasus ini secara transparan.
Tidak cukup hanya dengan janji, tetapi harus ada tindakan nyata: memberikan sanksi tegas kepada pihak yang bertanggung jawab, membentuk tim investigasi independen, serta mengevaluasi total prosedur pengamanan aksi unjuk rasa.
Tragedi Afan menambah deretan panjang korban sipil akibat tindakan represif aparat dalam penanganan aksi unjuk rasa.
GMNI Purwakarta mengingatkan, bila negara terus membiarkan darah rakyat kecil tumpah di jalanan, maka demokrasi Indonesia sedang berjalan menuju kematiannya.
“Jangan biarkan tragedi Afan menjadi sekadar catatan kelam yang terlupakan. Luka ini adalah luka bangsa. Jika kita memilih diam, maka kita sedang ikut membunuh demokrasi,” tutup Bentang.